Di bawah ini adalah berbagai liputan media online atas pernyataan pers Farouk Abdullah Alwyni , terkait ‘Pembangunan Kesadaran Politik untuk Perubahan Riel.’ Pernyataan pers lengkap berada di bawah:

SIARAN PERS 
Jakarta, 4 Februari 2018
Pembangunan Kesadaran Politik untuk Perubahan Riel

Tahun 2018 adalah tahun politik. Suhu politik di dalam negeri akan meningkat seiring dengan hajatan pilkada serentak 2018, yang diikuti 171 daerah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Pilkada serentak ini menjadi ajang pemanasan menuju Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan digelar serentak pada 17 April 2019.

Dalam Pilkada, Pileg dan Pilpres, para elit politik bekerja keras dengan segala kemampuannya untuk meraih simpati dan dukungan dari pemilih sebanyak-banyaknya agar bisa mengantarkan kepada kursi bupati, walikota, gubernur, anggota dewan dan jabatan presiden. Lazimnya penyelenggaraan Pemilu, janji-janji manis dan program-program simpatik menjadi jurus jitu para elite politik untuk menjaring dukungan suara. 

Memang, Pilkada, Pileg, dan Pilpres merupakan sebuah proses seleksi kepemimpinan eksekutif dan legislatif dari tingkat lokal hingga nasional. Dari proses seleksi ini diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan politik yang berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dan birokrasi yang melayani publik.

Tetapi pada kenyataannya, demokrasi yang berjalan saat ini masih melahirkan elit-elit politik yang belum berdampak fundamental untuk pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara. Masih berkutat dengan kepentingan pribadinya masing-masing, baik hanya sekedar mengumpulkan harta maupun membangun pesona pencitraan untuk mengejar lebih jauh ambisi politiknya, di tengah-tengah disparitas ekonomi yang semakin tajam, dan kebanyakan rakyat yang belum terpenuhi kebutuhan pokok-nya. Kedepan, kita mengharapkan terbentuk-nya demokrasi substantive, bukan demokrasi semu. Demokrasi yang baik itu harus-nya mengubah birokrasi menjadi instrumen pelayanan masyarakat.

Akibat sistem demokrasi yang tidak menyentuh persoalan mendasar, disparitas semakin tajam, karena pemerintah tidak hadir untuk keadilan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata. Berdasarkan data Bank Dunia, 10% penduduk menguasai sekitar 77% kekayaan negara. Bahkan lebih buruk lagi, 1% orang terkaya memegang setengah dari seluruh kekayaan negara. Itu sebabnya, pentingnya membangun kesadaran politik yang berdampak langsung bagi kualitas hidup masyarakat, bukan sekedar isu politik elit untuk kepentingan politik elit sendiri. Kesadaran politik yang perlu dibangun adalah terkait penumbuhan keberanian masyarakat untuk menuntut perbaikan layanan publik di berbagai aspek mulai dari birokrasi pemerintahan seperti pengurusan akte lahir, akte kematian, kartu keluarga, dan pemakaman, isu perbaikan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan, pembangunan infrastruktur jalan yang memadai dan transportasi publik, isu perlindungan konsumen, kebersihan lingkungan, sampai dengan perbaikan layanan institusi penegakan hukum dan peradilan. 

Setiap kepala daerah harus dituntut seoptimal mungkin memberikan layanan yang prima kepada publik, harus ada upaya mengurangi paper work dan lebih menuju paperless birokrasi, dibutuhkan perampingan birokrasi layanan publik, yang kita miliki sekarang adalah terlalu panjang mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, s/d Pemerintah Daerah (Gubernur). Perlu ada pemotongan struktur birokrasi agar masyarakat tidak di bebani kebutuhan tanda tangan yang terlalu banyak.

Di sisi lain, media juga hanya menjejali masyarakat dengan isu politik elite, SARA, dan yang lainnya, yang hanya sekedar menguras energi masyarakat tanpa memberikan perbaikan konkret terhada kualitas hidup rakyat secara mendasar. Sedangkan obyektif dari reformasi dan demokrasi itu esensinya adalah perbaikan kualitas kehidupan masyarakat.

Begitu banyak pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan. Sebab, berdasarkan sejumlah indikator indeks internasional, negara kita masih ketinggalan dengan negara lain. Seperti indeks-indeks the Ease of Doing Business (EODB), Competitiveness Index, Corruption Perception Index, Rule of Law Index, Passport index, Logistics Performance Index, dan Human Development Index.

Rendahnya rangking Indonesia di indeks-indeks internasional tersebut di antaranya sebagai berikut:

Pertama, ketidakefisienan birokrasi ini dapat terlihat dari rangking Indonesia dalam World Bank’s EODB. Meski sudah ada kenaikan stabil dalam empat tahun terakhir, rangking Indonesia (77) masih di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (2), Malaysia (24), Thailand (26), Brunei Darussalam (56), dan bahkan Vietnam (68). Dampak dari birokrasi yang kompleks dan tidak efisien ini di antaranya adalah, berdasarkan data BPKM 2017, rendahnya pertumbuhan investasi di Indonesia yang hanya 10%, dibandingkan misalnya, India yang mencatat pertumbuhan investasi 30%, Filipina 38%, dan Malaysia 51%.

Kedua, persoalan hukum dan korupsi. Menurut laporan Rule of Law Index tahun 2016 yang dikeluarkan oleh World Justice Project (2016), Indonesia masih memiliki masalah korupsi, hak fundamental, keadilan sipil, dan peradilan pidana. Indonesia berada di peringkat 61 dari 113 negara yang disurvey dalam laporan tersebut. Untuk korupsi di bidang peradilan dan legislatif, ranking Indonesia lebih rendah lagi di posisi 84 dan secara regional menempati posisi kedua terendah berada di peringkat 14 dari 15 negara. Dalam peradilan sipil dan pidana, peringkat Indonesia 92 dan 80 dari 113 negara masing-masing. Secara regional, Indonesia di peringkat 13 dan 12 dari 15 negara di Asia Timur dan Pasifik.

Ketiga, infrastruktur yang masih minim. Meski beberapa tahun ini pemerintahan Jokowi masif melakukan pembangunan infrastruktur namun jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia terbilang masih tertinggal. Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia menunjukkan bahwa kesenjangan infrastruktur termasuk di antara kendala terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan Indeks Kinerja Logistik (LPI) 2016, kualitas infrastruktur Indonesia dengan skor 2,65 adalah di bawah rata-rata 10 negara ASEAN (2,79), dan jauh di bawah 
Thailand (3,12), Malaysia (3,45), dan Singapura (4,20). Dari laporan World Economic Forum (WEF), rangking infrastruktur Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2017-2018 berada di posisi ke-52 dari 137 negara, jauh di bawah keseluruhan Indonesia itu sendiri (36). Di antara faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya peringkat infrastruktur antara lain kualitas jalan, kualitas infrastruktur pelabuhan, dan kualitas pasokan listrik.

Keempat, kualitas pembangunan manusia. Badan Program Pembangunan di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP) dalam laporan Human Development Report 2016 mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 di 2014. UNDP mencatat, IPM Indonesia 2015 sebesar 0,689 dan berada di tingkat 113 dari 188 negara di dunia. IPM ini meningkat sekitar 30,5% dalam 25 tahun terakhir. Namun, di saat yang bersamaan, UNDP melihat ada sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak belakang dengan peningkatan IPM tersebut, yakni tingkat kemiskinan dan kelaparan. UNDP melaporkan, ada sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20.000 per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk.

Selain itu, tercatat sebanyak dua juta anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian, angka kematian ibu yang cukup tinggi, sebanyak 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Juga akses ke layanan dasar, hampir lima juta anak tidak bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi. Di tambah lagi kini kasus gizi buruk dan wabah campak di Papua menyeruak di pemberitaan yang membuat pilu. Hampir 100 orang meninggal di Kabupaten Asmat akibat gizi buruk dan campak. tidak menutup kemungkinan kasus serupa terjadi di daerah lainnya, namun belum terekspos media.

Persoalan-persoalan di atas menunjukkan bahwa banyak PR yang harus dikerjakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemilu dan pilkada jangan hanya sekedar menjadi aksi panggung para elite politik. Ironisnya rakyat sekedar ikut-ikutan disibukkan oleh aksi panggung mereka, sedangkan hal-hal yang mendasar di Indonesia ini tidak kunjung mengalami perbaikan. Perlu pembangunan kesadaran politik rakyat untuk perubahan yang lebih riel.

Farouk Abdullah Alwyni
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development