Oleh: Farouk Abdullah Alwyni, Chairman CISFED

Jakarta adalah ibukota yang menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia. Kemajuan dan kemundurannya akan menjadi tolak ukur bagi bangsa ini. Dalam konteks Pilkda DKI saat ini, penting untuk memastikan agar Gubernur yang dipilih, memenuhi aspirasi warga DKI. Namun aspirasi warga DKI, tentu sangat beragam, tergantung latar belakang dan komponen masyarakat tersebut.

Mengingat Jakarta terdiri atas masyarakatheterogen dan bersifat urban, beberapa persamaan aspirasi masyarakat dapat diketengahkan di sini. Adalah aspirasi semua warga, jika Jakarta dapat dibangun menjadi kota dengan standard world class city. Tentu untuk menggapai kota dengan standard dunia, masih jauh, kendatipun bukan mustahil.

Beberapa catatan di bawah ini merupakan prasyarat yang penting untuk mencapai Jakarta sebagai kota yang nyaman dan dapat bersaing dengan kota-kota yang sudah maju di Asia Timur maupun Eropa. Tentu peranan seorang gubernur terpilih yang akan memimpin suatu kota dengan tantangan seperti Jakarta, penting dan menentukan. Karena itu, catatan-catatan di bawah ini perlu kiranya dapat diperhatikan.

Pertama, sampai sejauh ini, Jakarta masih memikul suatu birokrasi yang jauh dari efesien, walaupun tren ke arah debirokratisasi mulai tampak sejak periode Jokowi-Ahok berjalan. Jakarta masih perlu lebih maju dalam hal menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani. Sikap tegas seorang gubernur untuk melancarkan kebijakan debirokratisasi dalam rangka menghapus budaya birokrasi yang feodal dan membentuk budaya baru yang ringkas dan melayani, penting sekali untuk diteruskan. Beberapa kemajuan yang sudah mulai terasa hasilnya, misal bahwa saat ini untuk mengurus IMB, sudah melalui layanan komputerisasi.

Adapun yang masih perlu ditangani yaitu meringkas dan merampingkan tata kelola pemerintahan.Seperti yang kita lihat, tata kelola pemerintahanmasih sangat hirarkis. Akibatnya, pelayanan masyarakat menjadi lamban dan sangat birokratis disebabkan tendensi masing-masing unit untuk menciptakan kekuasaannya sendiri-sendiri. Misalnya ada RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, Provinsi, hingga Pusat. Kita inginkan calon gubernur yang mencalonkan diri sekarang ini, harus berani mengatasi permasalahan yang ditimbulkan hirarki pemerintahan tersebut.

Beberapa dari calon gubernur tersebut berusaha mengambil langkah populis dengan membiarkan sistem status quo RT/RW tetap eksis dan malahan dijanjikan insentif. Langkah populisme semacam ini hendaknya ditinjau ulang. RT/RW merupakan manajemen pemerintahan peninggalan Jepang yang sebenarnya sudah perlu digantikan dengan sistem yang baru lebih efesien dan efektif. Manajemen kota modern seperti Jakarta, fungsi RT/RW dapat diganti oleh teknologi. Tuntutan semacam ini merupakan komitmen terhadap reformasi birokrasi yang sejalan dengan amanat reformasi.

Semakin maju sebuah negara, birokrasinya semakin ramping. Jika RT/RW sebagai bagian dari struktur birokrasi, tidak dihapus, setidaknya dikurangi wewenangnya, supaya tidak tumpang tindih dengan unit-unit birokrasi yang ada. RT/RW sebagai sentra-sentra afiliasi dan kohesi budaya berdasarkan wilayah terkecil, mungkin dapat dibina ke arah itu. Namun sebagai bagian dari operator perizinan dari pemerintah di level terkecil, rasanya tidak perlu lagi di tengah majunya teknologi informasi dan komputerisasi dewasa ini.

Kemudian dalam kerangka reformasi birokrasi ini, ASN Pemda DKI harus juga diberikan pembinaan standard kinerja. Pajak warga DKI untuk membayar gaji pegawai, harus dikembalikan dengan pelayananyang dapat memenuhi harapan warga DKI itu. Adalah pemborosan, jika ASN tidak bekerja secara benar.

Kedua, yaitu masalah infrastruktur kota. Salah satu infratruktur yang paling disorot yaitu ketersediaan ruas jalan. Ruas jalan yang tersedia masih jauh dari layak. Kemacetan tidak boleh disalahkan dengan banyaknya jumlah kendaraan. Kepemilikan kendaraan malah dapat menjadi sumber pemasukan bagi pemerintahan daerah dengan menerapkan pajak. Kepemilikan kendaraan mewah misalnya, dapat diterapkan pajak progresif. Oleh karena itu, rasio jalan dengan lahan harus diseimbangkan. Paling tidak, Jakarta bisa sama dengan Kuala Lumpur dan Singapura. Solusinya adalah pelebaran jalan atau pembangunan jalan alternatif, seperti jalan layang atau tunnel.

Kebutuhan publik tersebut, tidak bisa dihindari. Memang makin lebar dan banyak ruas jalan, bisa merangsang meningkatnya jumlah kendaraan hingga kemudian menimbulkan kemacetan. Tetapi tanpa itu, justru kemacetan makin parah. Bayangkan pertumbuhan jumlah kendaraan tidak diimbangi dengan peningkatan ruas jalan.

Padahal kalau kita lihat rencana tata ruang kota Jakarta, sebenarnya sudah sejak lama ada rencana pelebaran jalan sebanyak dua meter ke kiri dan dua meter ke kanan. Faktanya hal itu tidak terekskusi. Ini ada kaitannya dengan birokrasi kita yang besar, akhirnya uang habis untuk membiayai birokrasi. Akibatnya kebutuhan infrastruktur terbengkalai.Walhasil perampingan birokrasi sangat terkait dengan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur.

Ketiga, yaitu transportasi publik harus interkoneksi. Pembangunan transportasi publik yang sudah berjalan, harus ada terobosan-terobosan yang lebih maju sehingga lebih cepat, nyaman dan interkoneksi.

Sekarang timbul pertanyaan, pembangunan infrastruktur menuntut ongkos yang besar, lalu bagaimana dengan dananya? Dana dapat diciptakan dari berbagai cara, antara lain optimalisasi potensi keuangan daerah seperti penerbitan Obligasi Daerah, kemitraan usaha dengan swasta, pemanfaatan secara ekonomis aset-aset dan lain-lain. Pemda DKI memiliki banyak aset yang dapat dioptimalkan, seperti lahan-lahan strategis, BUMD, dan sebagainya, yang dapat diciptakan untuk meraup pemasukan bagi Pemda yang kemudian dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur kota.

Masalah sumber keuangan ini, dasar berpikirnya adalah jangan sampai soal kekurangan dana, menghambat Pemda melakukan terobosan pembangunan. Jika ada proyek yang dicreate mendatangkan keuntungan, dana akan dapat dicari dan didatangkan. Jika yang diharapkan sumber pendanaannya cuma pajak, maka hanya akan menyulitkan rakyat. Sedangkan pajak itu jika tinggi, kontra pruduktif secara ekonomi. Semakin sedikit pajak akan semakin baik bagi pertumbuhan ekonomi dan rangsangan terhadap investasi.

Misalnya pemda dapat membangun gedung parkir vertikal sebagai pemasukan di suatu wilayah yang padat,atau mengeluarkan Sukuk Daerah. Banyak underlying asset di Jakarta yang dapat dimanfaatkan untuk hal itu. Dapat pula mencobapublic-private partnership dalam proyeksmart tunnel yang di dalamnya terintegrasi sistemdrainase kota sekaligus jalan raya. Nanti jalan tersebut dibuat berbayar sehingga mendatangkan income bagi Pemda DKI.

Tulisan di atas telah dimuat di telegram.co.id pada tanggal 2 Februari 2017 dengan link
https://www.telegram.co.id/published/2017/02/02/tiga-aspirasi-pokok-jakarta/