Beberapa waktu yang lalu sy mem-post komentar terkait pemberitaan di setujui-nya tunjangan tambahan fasilitas cuti tahunan untuk segenap Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan oleh Sri Mulyani Indrawati (SMI) selaku Menteri Keuangan. Sebuah hal yg menurut sy “absurd” di tengah persoalan defisit yg di hadapi oleh BPJS Kesehatan, terlebih lagi segenap Manajemen BPJS Kesehatan, selaku institusi layanan publik, sdh mendapatkan gaji dan fasilitas yg “astronomical” di bandingkan Pendapatan Perkapita masyarakat Indonesia (lebih dari Rp. 300 juta untuk Direksi dan lebih dari Rp. 200 juta untuk Dewan Pengawas), bahkan mungkin jauh lebih tinggi di bandingkan banyak institusi-institusi pemerintah lainnya, BUMN, atau bahkan industri asuransi sendiri.

Kalau melihat bahwa pasar BPJS adalah sebuah “captive market”, bahkan didukung oleh regulasi pemerintah sebenarnya apa yg didapatkan oleh segenap Manajemen BPJS adalah terlalu berlebihan, kalau kita berfikir positif, ini adalah sebuah bentuk “kebodohan”, tetapi kalau kita berfikir negative ini menunjukkan sebuah sikap “ketidakperdulian” dari segenap pemegang kebijakan yang ada, yg salah satu-nya adalah SMI sendiri.

Belum lagi kalau kita melihat “kinerja” BPJS Kesehatan selama ini, yang dilapangan, para pengguna fasilitas BPJS Kesehatan sering tidak mendapatkan pelayanan yg setara dari pihak rumah sakit, belum lagi persoalan birokrasi terkait rujukan yg sering menyulitkan orang-orang yg akan menggunakan fasilitas BPJS-nya (mungkin penelitian perlu dilakukan berapa banyak korban akibat birokrasi BPJS Kesehatan utk pasien-pasien yg tdk tertolong, yg seharusnya bisa tertolong).

Hal ini menunjukkan “persoalan kinerja buruk” Manajemen BPJS yg serius, karena sebenarnya salah satu indikator utama dari kinerja Manajemen BPJS adalah bagaimana segenap pengguna layanan BPJS dapat diterima dengan baik di seluruh rumah-rumah sakit yg ada di Republik ini. Segenap pengguna layanan BPJS berhak mendapatkan layanan yg prima dari pihak rumah sakit.

Beberapa hari belakangan ini persoalan BPJS menjadi ramai kembali terkait rencana kenaikan iuran BPJS yg bombastis, yakni naik dua kali lipat. Sekali lagi SMI berada dibelakang gagasan ini. Sebuah gagasan yg menuai banyak kontroversi. Sy sendiri melihat, usulan kenaikan iuran dua kali lipat, seperti yg dipelopori SMI, adalah satu bentuk pemikiran yg “simplistis” sekaligus “shortsightedness” dalam melihat persoalan.

SMI hanya terpaku dengan masalah “premi” dalam melihat persoalan BPJS Kesehatan, tetapi tidak melihat lebih jauh persoalan-persoalan lain dalam menyelesaikan persoalan BPJS. Mulai dari sistim teknologi informasi, sistim informasi manajemen, pendataan, administrasi, hubungan dengan pihak-pihak rumah sakit, kualitas layanan yg diberikan kepada masyarakat, singkatnya apakah BPJS Kesehatan sebagai institusi sudah benar-benar dievaluasi sebelum diberikan mandat lebih besar dengan menaikkan premi sampai dengan dua kali lipat?

Juga sejauh mana kinerja dan kompetensi para Direksi & Dewan Pengawas BPJS telah dievaluas mengingat setiap direksi BPJS menikmati insentif Rp. 342.56 juta/bulan dan Dewan Pengawas menikmati insentif Rp. 211.14 juta/bulan? (berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS 2019, seperti yg di laporkan oleh cnnindonesia.com). Menurut sy berdasarkan kondisi BPJS Kesehatan sekarang ini, dengan defisit menahun yg ada, dan juga kualitas layanan yg masih bermasalah disana-sini, gaji yg didapatkan oleh segenap Direksi dan Dewan Pengawas adalah sangat “overpaid”, dan lucunya, SMI sama sekali tidak mempersoalkan hal ini ? Sama sekali tidak melihat kejanggalan antara gaji yg “overpaid” dan kualitas kinerja yg buruk dari BPJS Kesehatan (overpaid salary vs poor performance). Hal ini menunjukkan apakah seorang SMI layak diberikan tanggung jawab sebagai pengelola keuangan publik tertinggi di Republik ini?

Dan terakhir, dan mungkin paling parah dari wacana SMI dalam menyelesaikan persoalan BPJS adalah usulan pemberian sanksi kepada yang tidak membayar premi mulai dari pencegahan pembayaran SIM sampai dengan tidak bisa mendaftarkan anak sekolah. Hal ini bagusnya dikritik oleh Sukamta (seperti diberitakan oleh rmol.id), Sekretaris Fraksi PKS di DPR RI, yang menganggap usulan tersebut tidak etis. Sukamta berpendapat, “Kalau sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan dikaitkan dengan hak untuk masuk sekolah, ini jelas sudah kelewat batas. Bu Menteri mestinya memahami amanah konstitusi, pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat. Saya kira sejak Indonesia merdeka, baru kali ini ada usulan sanksi melarang rakyat sekolah.”

Padahal menurut Sukamta lagi, berdasarkan laporan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), akar masalah BPJS mengalami defisit diantaranya adalah ada faktor-faktor lain yg menyebabkan defisit BPJS Kesehatan seperti adanya rumah sakit yang melakukan kebohongan data, jumlah layanan melebihi jumlah peserta, adanya perusahaan yang mengakali iuran, peserta aktif rendah, data tidak valid, dan persoalan manajemen klaim. Dari data temuan tersebut BPKP tidak menyebutkan akar persoalan ada pada besaran premi, hal ini menurut Sukamta penting untuk diketahui oleh publik.
Dari sini kita melihat betapa bahaya-nya jika manajemen keuangan publik yg dalam ini Departemen Keuangan diserahkan kepada seorang Menteri yg hanya suka melakukan kebijakan “short cut”, dan tidak berfikir secara “substantive” dalam melihat persoalan. Di sini SMI seolah tdk melihat ada kompleksitas aspek lain yg harus ditangani sebelum ujuk-ujuk menyarankan kenaikan premi dua kali lipat, yang hanya memberatkan masyarakat kebanyakan, dan bahkan lebih parah lagi, ditengah “kecetekan berfikir” beliau, tahu-tahu ingin sekedar memberikan hukuman (yg melanggar konstitusi) bagi yg tidak membayar premi.

Sy fikir segenap pihak yg perduli dengan kebaikan dan kelangsungan Republik ini tidak bisa membiarkan orang-orang yg diamanahi jabatan publik melakukan hal-hal yg bodoh seenaknya sendiri. Sy tidak mengenal SMI secara pribadi, begitu juga dengan segenap manajemen BPJS Kesehatan, jadi sy tidak ada masalah “personal” dengan mereka semua, tetapi BPJS Kesehatan dan Departemen Keuangan adalah institusi publik penting milik seluruh rakyat Indonesia.

Orang-orang yang sekarang kebetulan menjabat dan menduduki posisi puncak di institusi-institusi tersebut tidak bisa dibiarkan melakukan kebijakan publik yang berdampak bagi hajat hidup orang banyak se-enak-enaknya sendiri. Otherwise, they will do so much harm for this nation!

Publik perlu terus mengkritisi kebijakan mereka, mereka perlu diingatkan bahwa mereka berada disana adalah untuk melayani publik, dan bukan untuk menyengsarakan publik. Jika keberadaan mereka tidak membawa maslahat kepada rakyat banyak, sudah selayaknya orang-orang tersebut diganti dengan orang-orang yang lebih kompeten dan mempunyai komitmen yang jauh lebih baik untuk benar-benar memperbaiki dan menciptakan sistim layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat.

Jakarta, 5 September 2019
Salam, Farouk Abdullah Alwyni.
“The Only Thing Necessary for the Triumph of Evil is that for Good Men to Do Nothing”