Oleh: Farouk Abdullah Alwyni
Sekitar awal bulan April 2018, media banyak mengangkat isu terkait kasus penderekan mobil aktivis wanita Ratna Sarumpaet oleh Dinas Perhubungan (Dishub) DKI. Persoalan ini menjadi ramai karena Ratna memprotes hal tersebut dan mencoba menelfon Gubernur DKI Anies Baswedan karena beliau merasa tidak salah (menjadi viral karena tertangkap video), dengan alasana bahwa beliau sedang memarkir mobilnya di tempat yang tidak ada larangan parkir, lebih dari itu pada waktu mobil itu di derek Ratna sedang berada di mobil. Berdasarkan pemberitaan detik.com yang ada, telfon tersebut di jawab oleh Staf Gubernur.
Singkat cerita, telfon Ratna ini membuahkan hasil karena kemudian mobil beliau di kembalikan oleh petugas Dishub. Tetapi hal ini kemudian menjadi polemik, karena Anies merasa bahwa mobil tersebut tidak harus di kembalikan kepada Ratna, yang penting yang di ikuti adalah SOP terkait penderekan. Wakil Gubernur Sandiaga Uno juga ikut turut berbicara dan membela kebijakan petugas Dishub yang menderek mobil Ratna. Menurut Sandi, Ratna Sarumpaet melanggar aturan mengenai larangan parkir di bahu jalan, di samping itu menurut Sandiaga, Perda yang mengatur mengenai larangan parkir di bahu jalan sudah tepat (detik.com, 4 April 2018).
Tidak ketinggalan pula, Kepala dishub Pemda DKI Andri Yansyah juga ikut mengomentari hal tersebut, dan untuk membela kebijakan penderekan tersebut, beliau merujuk kepada Peraturan Daerah (Perda) No. 5 tahun 2014 tentang Transportasi, khususnya yang mengatur tentang parkir di ruang milik jalan. Pada esensi-nya dengan merujuk kepada Pasal 38 yang pada esensinya fasilitas parkir harus memiliki rambu parkir, maka setiap ruang milik jalan tidak boleh menjadi tempat parkir (detik.com, 4 April 2018).
Dari kasus di atas, penulis melihat ada dua persoalan yang perlu lebih jauh untuk di diskusikan. Pertama, adalah isu terkait penderekan yang di lakukan oleh Dishub itu sendiri. Dan yang kedua adalah isu terkait telfon Ratna kepada Anies. Kedua hal ini akan terkait dengan isu Demokrasi vs Birokrasi.
Untuk yang pertama, penulis melihat ada kebutuhan dari Gubernur dan Wakil Gubernur baru untuk mereview kembali Perda No. 5 tahun 2014 yang di jadikan rujukan oleh Kadishub di atas. Karena Perda tersebut pada esensi-nya mempunyai potensi untuk melanggar peraturan yang lebih tinggi, yakni UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ) khususnya Pasal 95 ayat (2) dan Pasal 120. Terkait hal ini sebenarnya Kadishub Provinsi DKI Jakarta telah di berikan teguran oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Darat Kementrian Perhubungan, Drs. Pudji Hartanto, MM melalui surat tertanggal 13 Maret 2017 sebagai tindak lanjut dari surat pembaca yang di sampaikan oleh penulis di dua harian ibukota yang terbit pada tanggal 3 & 4 Maret 2017 (Surat teguran terlampir). Teguran oleh Dirjen Perhubungan Darat tersebut juga sempat menjadi viral di sosial media.
Dalam teguran tersebut Dirjen Perhubungan Darat menggunakan dasar UU No. 22 Tahun 2009 dengan Pasal-Pasal tersebut di atas dan menyatakan bahwa pada dasarnya setiap kendaraan bermotor di perbolehkan untuk parkir di jalan sepanjang tidak ada larangan yang di nyatakan dengan rambu lalu lintas atau marka jalan. Bahkan dalam surat tersebut Kadishub Provinsi DKI juga di minta “untuk melakukan pembinaaan kepada Petugas untuk tidak melakukan penindakan terhadap kendaraan yang parkir di jalan yang secara nyata tidak ada larangan parkir yang di nyatakan dengan rambu lalu lintas atau marka jalan” (kutipan dari surat teguran di atas).
Jadi dari surat Kementerian Perhubungan di atas terlihat bahwa dalam kasus penderekan yang banyak terjadi selama ini di Ibukota Jakarta, justru Dishub Pemda DKI lah yang melakukan pelanggaran dengan penderekan sepihak, yang penulis sebut dalam surat-surat pembaca penulis sebagai “illegal towing.” Di sini terlihat praktek “illegal towing” ini sudah berjalan beberapa waktu, yang akibatnya banyak anggota masyarakat di rugikan baik secara waktu maupun materi. Saya pun mempunyai pengalaman pribadi terkait hal ini di mana terkesan petugas Dishub bertindak seperti layaknya pencuri kendaraan (yang membuat saya menuliskan surat pembaca di atas), untuk kasus kedua kami berhasil menyetop dan memarahi petugas Dishub terkait yang akhirnya tidak jadi melakukan penderekan. Bahkan dalam kasus Ratna terlihat kelakuan petugas Dishub yang terlihat tidak mempunyai etika dan keadaban yang memadai karena berani-berani-nya begitu saja menderek mobil ketika sang pengendara berada di dalam-nya.
Di sini Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta sebagai produk demokrasi, yang merupakan representasi dari sebuah administrasi yang mewakili masyarakat DKI Jakarta, sudah selayaknya untuk dapat mengkoreksi praktek yang tidak benar yang di jalankan oleh birokrasi Pemda DKI selama ini, yang dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan. Jadi di sini jelas, aparat tidak harus selalu benar, dan rakyat tidak harus selalu salah.
Sebenarnya hal ini (kasus Dishub) adalah hanya satu kasus saja, kedepan Gubernur dan Wakil Gubernur yang ada ini hendaknya bisa lebih agresif dalam mereformasi birokrasi Pemda DKI agar segala macam praktek yang merugikan masyarakat dapat di hentikan, seperti misal-nya kenaikan PBB yang sewenang-wenang dan tidak rasional di tahun 2014 yang berdampak hingga sekarang, pengurusan IMB rumah lama yang cenderung masih “complicated”, isu terkait persoalan pemakamam umum, dan struktur birokrasi yang panjang. Bahkan kalau perlu segala macam aturan dan SOP yang ada perlu di tinjau kembali agar benar-benar mencerminkan sebuah administrasi yang melayani rakyat, dan bukan menyulitkan rakyat. Salah satu tantangan kemajuan demokrasi kita ke depan adalah merubah kultur birokrasi dunia ketiga (third world bureaucracy) menjadi sebuah birokrasi modern yang mempunyai semangat people first, dan mengedepankan kualitas layanan (quality service) kepada masyarakat.
Isu kedua yang perlu kita telaah lebih jauh adalah tekait menelpon gubernur. Mengapa isu menelpon Gubernur menjadi sesuatu yang luar biasa ?? Ratna mengangkat sebuah point penting ketika beliau menyatakan kepada detik.com (5 April 2018), “Emangnya nggak boleh rakyat menelpon gubernurnya kalau dia lagi kesulitan? Itu jadi pertanyaan penting saya.” Kalau saya boleh menjawab dalam konteks demokrasi modern, tentu rakyat berhak untuk menelfon gubernurnya terlebih lagi bagi masyarakat negara berkembang seperti Indonesia ketika birokrasi masih belum benar-benar menjalankan fungsinya secara benar, ketika birokrasi masih cenderung mempersulit urusan ketimbang mempermudah persoalan. Maka rakyat, yang nota bene adalah pihak yang mendudukan seorang gubernur di posisinya (dan tidak terbatas bagi para pemilihnya), adalah berhak untuk menelfon Sang Gubenur, terlebih lagi kalau Sang Rakyat tersebut sedang menghadapi kesulitan/ketidak adilan.
Hal ini pada esensinya juga akan membantu Sang Gubernur melihat persoalan riel di masyarakat yang mungkin tidak akan di ungkap oleh para birokrat di sekelilingnya. Ketika Sang Kepala Daerah ini benar-benar telah memperhatikan keluhan rakyat ketimbang hanya sekedar berita-berita bagus dari pejabat pembantunya, maka pada saat itulah kita benar-benar akan merasakan “democracy in action”, di mana kedaulatan rakyat benar-benar di dahulukan. Bahkan pada masa administrasi sebelum-nya (Jokowi-Ahok), akses untuk menghubungi Gubernur dan Wakil Gubernur pun di buka secara publik baik melalui email maupun nomor khusus. Jadi sebenarnya isu menelpon Gubernur tidak perlu di besar-besarkan di luar proporsi-nya.
Akhir-nya, perlu kita sadari bersama bahwa kedepan jangan sampai demokrasi kita berhenti di tangan para birokrat, di mana yang terjadi adalah para Kepala Daerah bahkan Kepala Negara yang ada yang terjebak dengan kultur birokrasi dunia ketiga yang ada, tetapi sebaliknya para Kepala Daerah dan Negara yang ada perlu terlibat aktif untuk mendorong mendemokratisasikan birokrasi dan merasionalisasikan berbagai macam regulasi kompleks yang ada, yang dalam hal ini mewujudkan sebuah birokrasi yang melayani, birokrasi yang mempunyai prinsip untuk mempermudah suatu urusan, bukan malah mempersulit. Sebuah birokrasi yang maju, dan bukan birokrasi terbelakang. Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah segenap anggota masyarakat perlu dengan aktif mendorong para Kepala Daerah, dan bahkan Negara, yang ada untuk mengingat tugas utamanya untuk memberikan pelayanan publik yang baik kepada pemilih-nya.
Karena bagaimanapun baik buruknya persoalan institusi birokrasi ini berdampak signifikan terhadap maju atau mundurnya, sukses atau gagalnya sebuah negara yang dengan lengkap di gambarkan dalam sebuah buku menarik yang berjudul Why Nations Fail: the Origins of Power, Properity, and Poverty karangan Daren Acemoglu dan James A. Robinson.
*****