Perbankan Syariah masih menjadi benchmark bagi industri keuangan Syariah, baik di lingkup nasional maupun global. Di Indonesia, pangsa pasar Perbankan Syariah masih sebesar 5,17%, jauh di bawah Malaysia dan Arab Saudi, itupun terpicu oleh adanya corporate action yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh yang mengkonversikan bisnisnya menjadi Bank Umum Syariah. Ke depan, hingga 2024, akan tejadi banyak corporate action dari bank-bank konvensional yang membuka unit usaha Syariah, disebabkan oleh peraturan di dalam UU no 21 tahun 2008 yang mengharuskan unit usaha Syariah pada Bank konvensinal melakukan spin off setelah jangka waktu tertentu atau setelah memenuhi kecukupan modal tetentu. Sementara, sektor keuangan Syaiah lainnya, sepeti pasar modal dan asuransi Syariah pangsa pasarnya masih di bawah Perbankan Syariah. Pada dasarnya industri keuangan Syariah di Indonesia masih memiliki prospek yang baik, seperti, percepatan infrastruktur yang dilakukan saat ini mempunyai dampak hadirnya kebutuhan yang sangat tinggi terhadap pendanaan dan banyaknya aset dan transaksi yang dapat dijadikan underlying bagi aset keuangan Syariah. Di sisi lain, terdapat perlambatan ekonomi global yang merupakan tantangan yang dihadapi oleh industri keuangan Syariah, selain juga terdapat fenomena fintech yang dikatakan oleh Chairman CISFED, Farouk Abdullah Alwyni, sebagai disruptive business model yang merupakan sharing technology di dunia keuangan.
Kondisi-kondisi di atas adalah hasil diskusi dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Center of Islamic Studies for Finance, Economic and Development (CISFED), pada tanggal 17 Desember 2016 di Kantor Samuel Asset Management, Menara Imperium, Jl. Rasuna Said – Jakarta Selatan. Dalam FGD yang menghadirkan Muhammad Touriq selaku Deputi Direktur Direktorat Pasar Modal Syariah Otoritas Jasa Keuangan, Deden Firman Hendarsyah selaku Direktur Pengaturan, Perizinan, Penelitian dan Pengembangan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan, Muhammad Cholifihani selaku Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Bappenas/Kementerian PPN, Koko T. Rachmadi selaku Ketua Bidang Edukasi dan Literasi Asosiasi Bank Syariah Indonesia dan Farouk Abdullah Alwyni, Chairman CISFED yang juga merupakan pakar keuangan Syariah, dengan dipandu oleh Intan Syah Ichsan, yang mepakan Ketua Eksektif CISFED selaku moderator.
FGD yang mengangkat tema Islamic Finance Development: Rethinking the opportunities and Challenges ini juga dihadiri oleh pakar keuangan Syariah dari Bank Indonesia, Rifki Ismal yang memberikan kritik bahwa sebaiknya tidak perlu membandingkan industry keuangan Syariah di Indonesia dan di Malasia sebab memiliki karakteistik yang bebeda, di mana pemerintah Malaysia mendukung penuh kegiatan sektor keuangan Syariah di negerinya, berbeda dengan di Indonesia yang lebih banyak dilakukan secara swadaya. Meskipun juga, pemerintah Indonesia pada saat itu tengah mempersiapkan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dipimpin langsung oleh presiden RI.
Selain itu, hadir pula dari kalangan akademisi, Anis Byarwati yang memberikan saran bahwa sebaiknya KNKS melibatkan akademisi di dalamnya agar terjadi pengintegrasian yang baik di bidang keuangan Syariah. Dedi Wibowo selak bankir dan pemerhati keuangan Syariah mengatakan bahwa selama industri keuangan Syariah masih berbagi kue yang sama dengan keuangan konvensional maka sulit untuk dapat maju, sebaiknya keuangan Syariah di Indonesia, termasuk di dalamnya Perbankan Syariah, fokus kepada bidang yang belum banyak digarap oleh industri keuangan konvensional.