Sejak mulai ditampilkannya isu deradikalisasi dalam jagad perpolitikan nasional, saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres terkait kapasitas intelektual dari sekelompok elite politik di republik ini dalam memahami persoalan-persoalan kontemporer politik bangsa.
Persoalan radikalisasi bukanlah isu utama di negara ini. Masih banyak isu-isu lain yang menghambat kemajuan di bumi Indonesia ini. Isu-isu ini diantaranya adalah (i) persoalan birokrasi yang besar, korup, dan tidak efisien; (ii) persoalan regulasi yang ribet, kebanyakan, yang bahkan menghambat & terbelakang; (iii) persoalan kepastian hukum di sistim keadilan kita yang meliputi diantaranya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman; (iv) persoalan kemiskinan yang menggunakan batas garis kemiskinan yang tidak manusiawi; (v) persoalan ketimpangan sosial yang tinggi; (vi) persoalan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat, yang bahkan pertumbuhan yang ada diragukan kevalidannya oleh pengamat luar, belum lagi kualitas pertumbuhan yang dianggap hanya dinikmati sebagian kecil orang; (vii) persoalan kualitas demokrasi yang cenderung menuju oligarki; (viii) persoalan sumber daya manusia kita; (ix) persoalan infrastruktur kita yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara terangga sekalipun; (x) dan banyak isu-isu lain yang mungkin tidak bisa dilanjutkan disini yang memberikan gambaran bahwa membangun & memajukan Indonesia adalah sebuah “daunting task” yang memerlukan komitmen & keseriusan.
Dengan dipaksakannya isu radikalisasi menjadi isu utama dalam kehidupan berbangsa & bernegara kita dewasa ini, tidak terhindarkan kita semua melihat berbagai pertunjukan kebodohan yang ditampilkan oleh para aktor-aktornya (atau, maaf, badut-badutnya). Mulai dari isu celana kincrang & cadar yang membuat Menteri Agama yang baru menjadi olok-olok di media sosial karena dianggap lebih cocok menjadi tukang jahit, sampai dengan seorang Ibu dengan wawasan & kapasitas intelektual yang terbatas yang hanya bisa menggadang-gadang kebanggaanya dengan mengasosiasikan dirinya dengan ayahnya, sebagai seorang proklamator & Presiden pertama Republik ini, tanpa bisa melihat kenyataan bahwa ayah yang dibanggakannya itu juga berkontribusi terhadap tumbuhnya kembali neo-feodalisme & otoritariasme ketika mengambil alih kekuasaan dari parlemen ditahun 1959, perekonomian Indonesia yang bangkrut di tahun 1965-1966 serta kuatnya kekuatan politik anti Pancasila (Komunisme) pada masa itu. Belum lagi kalau kita membahas lebih jauh bahwa para pahlawan sesungguhnya dari kemerdekaan Republik ini adalah mereka-mereka yang berjuang dengan tulus ikhlas yang bahkan banyak dari mereka tidak pernah dikenal orang banyak, yg berjuang karena keyakinannya kepada Allah SWT & RasulNya, Nabi Muhammad SAW.
Banyak yang bisa diulas dari kebodohan pernyataan sang Ibu tersebut dalam membuat sebuah perbandingan yang tidak relevan antara seorang Soekarno dan seorang Nabi utusan Allah, Tuhan yang Maha Esa, yang merubah peta peradaban umat manusia. Tanpa sadar sang Ibu sebenarnya telah menghinakan diri & ayahnya sendiri, dan itulah yang sekarang ramai di media sosial sekarang ini.
Tetapi pernyataan ini melihat bahwa mengulas hal tersebut lebih jauh tidaklah begitu perlu, karena pertunjukan-pertunjukan kebodohan yang terjadi pada saat ini pada esensinya adalah dampak dari pemaksaan isu yang “superficial” dan tidak difikirkan secara dalam.
Pertanyaannya adalah, apakah para pengusung isu radikalisme itu telah menggunakan batasan-batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan radikalisme? Lalu bagaimana dengan radikalisme sekuler & materialistik yang juga berbahaya terhadap kelangsungan Republik ini, apakah sudah difikirkan juga? Juga model perhitungan macam apa yang digunakan dengan menjadikan agenda deradikalisasi menjadi agenda nasional, khususnya jika dibandingkan dengan kerugian besar yang dialami bangsa ini akibat diantaranya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, mismanajemen & inkompetensi para pengelola negara & BUMN-BUMN yang ada, kemacetan, polusi, dan persoalan-persoalan besar riel lain yang dihadapi bangsa ini ?
Ditengah kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu akibat isu radikalisasi & deradikalisasi ini, hendaknya setiap penyelenggara negara kembali ke akal sehatnya, berhenti mengedepankan “vested interest”-nya masing-masing, dan mulai menata republik ini secara lebih serius dengan mencari pemecahan persoalan-persoalan bangsa yang lebih substantif.
Hal ini adalah untuk kebaikan kita semua dan juga untuk menciptakan & meninggalkan Indonesia yang lebih baik bagi anak cucu kita kelak, yakni Indonesia yang lebih adil, merata, beradab & bermartabat, maju & kuat, serta berperanan dalam dunia internasional.
Gold Coast (Australia), 21 November 2019
Farouk Abdullah Alwyni
Note: Berbagai liputan media online dari pernyataan diatas dapat dilihat dibagian media dari web ini.