Setelah demonstrasi 14 Oktober 2016 yang lalu melibatkan masa yang cukup besar, dipastikan pada 4 Novembet 2016 ini, sekali lagi puluhan ribu umat dari seluruh Indonesia akan kembali membanjiri Jakarta.
Persoalannya sebenar-nya ‘simple’, mereka menuntut penegakan hukum bagi semua, yang dalam hal ini adalah Gubernur Petahana, Basuki Tjahya Purnama, yang di kenal dengan Ahok.
Hal ini juga menjadi taruhan bagi kewibawaan hukum dan aparatnya apakah hukum dapat ditegakkan bagi semua. Pasalnya, terdapat keraguan bagi umat Islam bahwa aparat hukum tidak mampu menegakkan hukum terhadap Ahok. Keraguan itu harus dipatahkan oleh aparat hukum jika ingin menjadikan Indonesia sebagai rumah yang menyenangkan dan membanggakan bagi seluruh warga.
Jika hukum terkesan lemah untuk di tegakkan kepada Ahok, maka sudah pasti ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan makin membesar. Hal itu tentu amat merugikan bagi semua.
Kegaduhan yang disulut oleh pernyataan Ahok yang cenderung ‘asbun’ terhadap sesuatu hal yang sakral bagi umat Islam sebenarnya ibarat fenomena gunung es.
Apa yang terjadi sekarang ini, yakni kemarahan banyak elemen umat terhadap Ahok merupakan akumulasi kejengkelan atas arogansi dan kecerobohan Ahok terhadap umat Islam. Jika diurut, ada banyak kasus yang membuat jengkel masyarakat kepadanya, antara lain, penggusuran pemukiman di berbagai lokasi di Jakarta yang cenderung tidak manusiawi, dukungan terhadap Ahok yang sangat kental berbau SARA dalam ceramah di salah satu kegiataan keagamaan, dan gaya bicara yang cenderung SARA ketika memarahi para Pegawai Pemda DKI (dua hal terakhir tersebar ‘viral’ di sosial media).
Sebenarnya jika kita lihat apa yang dilakukan oleh banyak elemen Umat Islam Indonesia berupa demonstrasi dan melaporkan Ahok ke Kepolisian masih sebuah “response” yang sangat lunak dan baik. Saya bisa bayangkan kalau ada salah satu “Mayor” atau “Governor” di Eropa ataupun Amerika yang beragama Islam (terlebih lagi dari etnik minoritas) dengan bergaya model Ahok, mungkin sudah ditembak oleh kelompok-kelompok model “Far Right”, “Ultra Nationalist” atau pun “White Supremacy”. Kita lihat beberapa waktu yang lalu di Inggris ada seorang wanita kulit putih yang ditembak mati oleh seorang yang dianggap dari kelompok “Far Right”. Sebanya ialah karena wanita tersebut dikenal sebagai figur yang memperjuangkan dengan vokal hak-hak migran/pengungsi.
Melihat serangan balik yang dilakukan oleh kelompok “cyber army” Ahok terhadap MUI dan sebelumnya kepada siapa pun yang mengkritisi Ahok, maka Ahok sebenarnya seorang figur yang berbahaya bagi Demokrasi dan Kesatuan NKRI.
Kalau kita perhatikan komentar-komentar “Cyber Army” Ahok yang ada, baik kepada segenap pihak yang mengkritisi Ahok, ataupun para Cagub tandingan, kita melihat munculnya gejala “intoleransi” dan “fasisme politik” dalam peta politik Indonesia sekarang ini. Siapapun yang membahayakan Ahok harus diserang, dihujat, dan dipermalukan. Tentu hal semacam merupakan preseden yang buruk bagi adab politik di Indonesia.
Indonesia merupakan contoh yang unik dimana minoritas bersikap sangat agresif dan setiap saat dapat mem-“bully” mayoritas, suatu hal yang tidak terbayangkan dapat terjadi di negara-negara yang mayoritas-nya non-Muslim.
Kita tidak tahu dengan pasti latar belakang “Cyber Army” Ahok, apakah sekedar “Pasukan Nasi Bungkus(Panasbung)”, “well-paid”, atau memang mereka “religiously and/or ethnically driven”.
Sebenarnya secara sadar atau tidak sadar apa yang dilakukan oleh pendukung fanatik Ahok dapat memicu konflik rasial dan agama yang berbahaya.
Itulah mengapa kita lihat sebagian kelompok etnis Tionghoa mencoba membuat jarak dengan Ahok, karena mereka sudah merasa tidak nyaman dengan profil Ahok yang agresif.
Mereka menyadari bahwa kelakuan Ahok dan para pendukung fanatik-nya adalah tidak sehat dalam jangka menengah dan panjang serta dapat menyulut api konflik.
Tetapi satu hal yang perlu kita cermati lebih jauh lagi, khususnya kelompok-kelompok yang secara frontal telah berani menyerang Islam di ‘social media’, juga beberapa Masjid yg diberikan gambar Salib, sebenarnya siapakah mereka ini?
Ditengarai bahwa kelompok di atas kemungkinan adalah ‘penumpang gelap’ yang ingin menyulut konflik sosial di Indonesia. Siapapun mereka, yang jelas mereka ingin melihat hal-hal yang buruk dapat terjadi di Indonesia. Mereka ingin mengambil keuntungan dari situasi konflik rasial atau agama. Sebab, isu yang paling mudah untuk memicu konflik sosial adalah isu Agama dan/atau etnisitas.
Ahok jelas telah membuat kesal sebagian besar Umat, tetapi kita umat mungkin perlu melihat kemungkinan kelompok lain yang ingin memanfaatkan kekesalan Umat terhadap Ahok dengan memicu konflik sosial yang lebih besar. Oleh sebab itu, kemarahan terhadap Ahok harus tetap terkendali dan tekanan terhadap Ahok harus tetap diarahkan pada upaya penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Namun akhirnya, untuk menghindari dugaan bahwa Pemerintahan Jokowi melindungi Ahok, dan juga untuk kebaikan Jakarta dan NKRI, bagaimana pun juga Kepolisian perlu memproses pengaduan terkait Ahok secara profesional dan imparsial.
Jika sebagian pihak mencoba meredam reaksi umat dengan mengangkat bahwa Ahok telah menyampaikan permintaan maaf, maka masalahnya adalah sebagai berikut. Apa yang terjadi sebenarnya adalah konsekuensi dari seorang figur model Ahok yang juga tidak toleran. Hal ini terlihat ketika Ahok menyatakan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup tatkala mengomentari permintaan maaf seorang Mahasiawa UI terkait penolakan dirinya dengan dasar agama. Bahkan Ahok meminta UI untuk men-DO mahasiswa tersebut.
Untuk kebaikan Jakarta dan NKRI, figur “volatile” model Ahok memang sudah waktunya turun, apakah turun karena tersandung kasus “Surat Al-Maidah” atau dikalahkan secara demokratis di Pilkada DKI 2017.
Terakhir hendaknya disadari bahwa pada akhirnya salah satu faktor kunci keberhasilan sebuah negara adalah terciptanya stabilitas politik. Tanpa stabilitas politik, “our country will be doomed.” Dan di sukai atau tidak, Ahok tampaknya telah berkontribusi menimbulkan instabilitas politik yang kita tidak inginkan tersebut
Farouk Abdullah Alwyni
Tulisan di atas telah dimuat di harian telegram.co.id pada tanggal 1 November 2016 dengan link
https://www.telegram.co.id/published/2016/11/01/kontroversi-ahok-dan-penegakan-hukum/