Di bawah ini ada link-link berita terkait BPJS kesehatan. Pertama terkait penambahan tunjangan cuti tahunan yg diberikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI), kepada direksi dan anggota dewan pengawas BPJS seperti di beritakan di link di bawah ini:

https://www.cnnindonesia.com/…/menyoal-gaji-rp200-juta-per-…

Kedua terkait pembengkakan defisit BPJS Kesehatan serta rencana menaikkan iuran anggota seperti diberitakan di link di bawah ini:

https://www.jawapos.com/…/defisit-membengkak-bpjs-kesehata…/

Membaca dua hal diatas saya benar-benar tidak habis pikir melihat cara kerja dari orang-orang yg diamanahkan untuk mengelola dana & institusi publik. Sudah “kinerja-nya tidak jelas”, tidak ada pula “sense of crisis.”

Melihat kondisi BPJS Kesehatan yg defisit, bagaiman pula seorang SMI bisa menyetujui untuk memberikan tambahan cuti tahunan kepada direksi dan anggota dewan pengawas??? Padahal apa yg mereka dapatkan sudah sangat besar sekali, apalagi kalau mengingat mereka semua ini bekerja di institusi layanan publik. SMI sepertinya lupa bhw pemberian tambahan tunjangan yg diberikannya itu adlh bukan uangnya sendiri, tetapi uang publik yg harus secara hati-hati dipergunakan.

Belum lagi kalau dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata masyarakat Indonesia yg nota bene-nya adalah para konsumen mereka.

Parahnya kalau kita lihat berita kedua direksi yg adapun kualitasnya tdk jelas, ketika defisit terjadi hanya bisa berfikir menaikkan iuran. Lalu mencari “kambing hitam” bhw para peserta tdk membayar iuran dengan baik. Harusnya dengan gaji yg begitu besar mereka bisa lebih cerdas sedikit untuk berfikir bagaimana membuat sebuah mekanisme yg bisa memastikan para peserta melakukan kewajiban pembayaran iurannya dengan baik.

Juga perlu dicatat bahwa banyak “komplain” terkait kinerja BPJS Kesehatan dilapangan mulai dari “secondary’second class status” dari BPJS Kesehatan di mata para penyedia sarana kesehatan (rumah sakit2 dll) s/d persoalan tunggakan bayaran BPJS Kesehatan di rumah-rumah sakit. “Secondary/second class status” ini tdk bisa dilepaskan dari persoalan lamanya pembayaran tunggakan BPJS Kesehatan kepada pihak rumah sakit yang berakibat masyarakat pengguna fasilitas BPJS Kesehatan menjadi pihak yang harus menanggung akibatnya, dengan mendapatkan layanan yg lebih inferior.

Sy fikir persoalan BPJS Kesehatan ini perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak. Pihak BPJS Kesehatan dan segenap pihak yg terlibat didalamnya tdk bisa hanya dibiarkan menjalankan institusi penting ini se-enak-enak-nya sj, dengan kinerja yg buruk tetapi ingin gaji yg sangat tinggi. Ini adalah bentuk “mismanagement” yg sangat kasat mata.

Salah satu ukuran kinerja yg harus dituntut dari direksi dan pengawas BPJS adalah bgmn institusi ini bisa dihargai di rumah-rumah sakit tidak kalah dari asuransi swasta, dan para peserta tidak dinomor duakan dalam mendapatkan layanan kesehatan.

Secara konsep BPJS Kesehatan dituntut untuk bisa memberikan “excellent quality health care (kualitas layanan kesehatan yg ‘excellent’)” kepada segenap anggotanya, yang adalah mayoritas rakyat Indonesia. Jika para direksi dan pengawas BPJS Kesehatan ini tdk bisa memberikan itu buat apa mereka tetap duduk dengan menikmati gaji yg begitu besar? Kenapa negara yg ujungnya adlh masyarakat harus mensubsidi “inkompetensi” mereka?

It is about time that Indonesian people should demand and expect more from those who are using their resources to run this country and all of its institutions!

Jakarta, 23 Agustus 2019

Salam, Farouk.